Senandung

Jakarta-Cirebon berjarak sekitar 260 km, yang dapat ditempuh selama 3 jam perjalanan. Jarak itu hanya ‘sepele’ untuk satu rangkaian kisah. Ide kunjungan Seli ke Cirebon ini berawal dari akan selesainya project-ku di Pertamina Cirebon. Siapa sangka rencana kunjungan ini hampir buyar karena salah beli tiket. Tiket yang sudah susah payah didapatkan dari seorang teman ternyata SALAH. Tanggalnya ternyata tanggal kemarin. Jadilah, dia harus beradegan ala sinetron di Stasiun Gambir : diturunkan dari kereta, menitipkan tas pada penjaja makanan, mengejar tiket yang cuma tinggal sebiji 5 menit menjelang keberangkatan. Seli sudah panik di ujung ponsel saat berita ini kuterima, padahal kereta hampir berangkat. Untung saja, juga seperti sinetron, selalu ada keajaiban yang membuat kita tergeleng-geleng : tiket berhasil didapatkan dan tetap bisa berangkat tanpa kekurangan suatu apa pun. Ketegangan dan keletihan akibat ‘akting’ itu masih terlihat di wajahnya saat kujemput di stasiun Cirebon:)

Harusnya rasa dan tampilan makan malam kami mirip seperti ramen yang pernah kami santap (Hakkata Ikkousha, red.). Apa daya, ternyata banyak hal tidak berjalan sesuai rencana. Kalau bukan karena perut kosong, sudah hilang selera makan saat menatap ‘opor mie’ buatanku itu. Malam itu ditutup dengan menikmati bulan purnama di tengah telaga dalam kompleks Pertamina yang teduh.

gadis bulan!

Pagi yang cerah memuluskan perjalanan kami ke kawasan Cigugur, yang terletak di pinggiran kota Kuningan. Jarak dari Cirebon ke Kuningan sekitar 30an km, ditempuh dengan sepeda motor. Sepeda motor ini (untung mereknya Honda) sudah cukup tua: rantai giginya sudah mulai longgar, kaca spionnya juga sudah tak terpasang baik. Tapi perjalanan kali ini serasa menggunakan mobil.. ada senandung Seli yang menggantikan tape mobil. Kesederhanaan tetap terasa ‘mewah’ jika bersama dengan orang terkasih 😉

Mengunjungi Curug Putri adalah rencana kami pagi itu, tapi sayang tak kesampaian karena aksi penutupan oleh warga sekitar akibat tuntutan mereka yang belum dipenuhi pemerintah setempat. Walau sempat kecewa, kami tak ingin meratapinya. Lereng Ciremai masih menyimpan keindahan yang bisa kami nikmati. Hawa dingin, perkebunan warga di sisi jalan, suasana pedesaan dan hamparan pemukiman di bawah sana yang tampak indah, masih bisa menyejukkan hati.

rindu kampung halaman..

Gua Maria yang sudah tak jauh dari situ tak luput kami singgahi. Perjalanan ziarah ini (tak) kebetulan di masa Paskah. Tangga-tangga menanjak ke puncak bukit, mengingatkan pada Sosok Penebus yang juga melewati jalanan menanjak penuh derita memikul salib. Via dolorossa. Kengerian yang tak terbayang, tapi Ia jalani demi umat manusia yang dikasihiNya. Puncak bukit itu adalah salib. Di baliknya ada sebuah gua tempat peziarah menaikkan doa-doanya. Dia yang pernah bergumul dan mengalami kesengsaraan tak terkira, pastilah juga dapat memahami pergumulan dan sengsara umatNya.

puncak bukit

Belum ke Kuningan rasanya kalau tak membawa penganan khasnya : tape ketan. Kudapan ini tidak sulit ditemui di pusat kota. Kalau mau yang enak, RM Kita adalah pilihan tepat. Di setiap musim liburan, stok mereka selalu habis, jadi kami harus menunggu hingga sore. Tak jauh dari situ, ada warung baso yang enak dan terjangkau (namanya apa?). Tak jauh dari situ juga terdapat hupat, semacam kupat tahu, yang enak. Tempatnya di sebelah pos polisi dekat taman kota, di bawah pohon beringin. Rasanya mantap! 3 piring pun tak bersisa kami santap berdua.

1 dari 3 piring

Pemandian air panas di daerah Sangkanhurip adalah tujuan berikutnya. Letaknya masih sekitar 4 km dari jalan poros Kuningan-Cirebon. Sepanjang jalan ini kita disuguhi areal persawahan yang menghampar hijau, menyejukkan mata. Satu jam berendam air panas memang nikmat. Tak hanya menyegarkan tubuh, tapi juga baik untuk kesehatan kulit. Perjalanan selanjutnya adalah tempat perundingan Linggarjati. Tak salah kalau gedung yang terletak di kaki pegunungan Ciremai ini dipilih sebagai tempat perundingan. Suasana yang tenang dan udaranya yang segar memang cocok untuk mendinginkan hati dan pikiran. Anyway, masih ingat perjanjian Linggarjati? Salah satu hasil perundingan adalah dibentuknya RIS, yang tentu tidak menguntungkan Indonesia.

Rumah ini sebenarnya tidak terlalu istimewa. Jika tak ada papan nama, rumah ini tak jauh bedanya dengan sekitarnya. Susunan perabot dalam rumah tersebut tetap dipertahankan seperti semula : meja, kursi, lemari, bahkan tempat tidur. Di dinding-dinding kamar, terpampang foto-foto anggota delegasi dan juga sejarah gedung tersebut. Siapa yang menyangka, gedung yang pernah rusak termakan usia ini malah pernah dijadikan gedung SD.

mural linggarjati

Matahari beranjak terbenam saat kami menyusuri jalan kembali ke Cirebon. Langit dan awan berpendar kekuningan, menyibakkan keindahan di langit yang mendung. Lampu-lampu kota tampak indah dilihat dari ketinggian. Kota Cirebon menyuguhkan banyak kuliner di malam hari. Salah satunya yang cukup terkenal adalah Nasi Jamblang Ibu Nur. Nasi jamblang disajikan di atas daun jati dengan pilihan lauk pauk yang beragam. Harganya relatif murah dan enak pastinya 😀

Keeseokan harinya, sesudah beribadah minggu, kami sempatkan untuk berkunjung ke Keraton Cirebon. Cirebon yang dulunya merupakan daerah kesultanan memiliki 4 kesultanan. Kami hanya berkunjung ke Keraton Kasepuhan, yang merupakan keraton terbesar. Tiket masuk hanya 5000 rupiah saja. Pemda setempat memiliki cara unik untuk memberdayakan siswa SMK jurusan Pariwisata di sana. Jadi, mereka ditugaskan satu per satu untuk menemani turis-turis yang berkunjung ke Cirebon. Kami ditemani sorang siswi bernama Lia. Ia cukup fasih menyampaikan sejarah keraton ini. Di dalam keraton terdapat museum dengan koleksi benda-benda antik, termasuk lukisan dan kereta Singa Barong yang dikeramatkan. Hanya saja, kita akan sering merogoh kantong karena adanya pungutan kebersihan yang cukup banyak, hampir di setiap segmen keraton. Yah, cukup menyediakan uang pecahan 1000-2000 saja agar tak kerepotan.

pendopo keraton kasepuhan

Di jalan pulang, kami singgah dulu untuk menyantap baso. Baso Sidodadi namanya. Untung juga menyempatkan diri untuk makan baso hangat ini, karena ternyata kami harus menghadapi hujan. Sepertinya langit Cirebon pun tak rela ditinggal, mengguyur kami dengan hujan rintik. 15 menit menjelang keberangkatan ke Jakarta, kami makan lagi. Empal Gentong dan tahu Gejrot yang merupakan penganan khas Cirebon (dan belum pernah aku cicipi selama hampir setahun berdomisili di Cirebon) kami nikmati berdua. Entah terburu-buru atau memang enak, keduanya ludes sekejap. Sekejap itu jugalah rasanya kebersamaan kami tiga hari ini.

baso sidodadi, tahu gejrot, empal gentong

Sungguh menyenangkan melewati hari-hari singkat itu walau diselingi peristiwa-peristiwa tak terduga : salah tiket, salah jalan, dan salah sendiri sampai terjatuh, hehe. Tapi, itulah perjalanan yang akan selalu dikenang. It’s not the destination, but the journey that matters the most 😉

1 Komentar (+add yours?)

  1. Seli
    Nov 16, 2012 @ 04:02:34

    Reblogged this on ..Live it.. and commented:

    Beberapa orang menanyakan ke saya tentang perjalanan yang terbilang cukup pendek tapi bisa keluar kota Jakarta. Well, salah satu perjalanan yang oke menurut saya adalah ke kota Cirebon dan Kuningan ini. Jaraknya tidak terlampau jauh, apalagi ditambah dengan pinjaman motor, dan nebeng kosan membuat perjalanan ini sangat sangat affordable untuk backpacker. Well, kira-kira habis sekitar 300rb untuk 2 hari 2 malam.. mahalan di tiket kereta Cireks si sebenarnya. Oh iya, dan di tulisan ini saya sebagai orang kedua ya, bukan orang pertama seperti biasa 😀

    Balas

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: